Salvaguardas sociales: Un análisis del apoyo a los derechos de los pueblos indígenas y las comunidades locales en el contexto de REDD+

Resumen

  • Los compromisos de nuevas inversiones en los bosques tropicales pueden contribuir a los objetivos de desarrollo sostenible, pero también plantean riesgos para las comunidades que dependen de dichos bosques.
  • Este folleto resume un grupo de estándares voluntarios de salvaguardas para REDD+, así como las directrices de instituciones financieras multilaterales.
  • Comparamos nueve criterios para comprender las diferencias entre los estándares y las directrices, y nos centramos en su compromiso con los derechos de los pueblos indígenas y comuniades locales (PICL) que gestionan bosques en los que se implementa REDD+.
  • Encontramos una variación considerable en la forma en que los estándares y directrices de salvaguardas se comprometen con los derechos de los PICL.
  • Los estándares voluntarios pueden apoyar una transición desde salvaguardas que buscan “no hacer daño” a enfoques que ayuden a “hacerlo mejor”, catalizando una transformación basada en derechos para generar un nuevo compromiso con las mujeres y los hombres de los PICL como titulares de derechos y socios, y no solo como beneficiarios de proyectos.

Sekilas mengenai Kerangka Pengaman (Safeguard): Mendukung hak-hak Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal dalam REDD+ dan inisiatif berbasis hutan lainnya

Ringkasan

  • Janji untuk investasi baru di hutan tropis dapat mendukung tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan, tetapi juga memberikankan resiko-resiko bagi masyarakat yang bergantung pada hutan.
  • Brosur ini merangkum standar kerangka pengaman (safeguard) sukarela yang relevan dengan REDD+, serta pedoman lembaga donor multilateral regional dan internasional.
  • Kami membandingkan sembilan kriteria untuk memahami perbedaan dari seluruh standar dan pedoman, dengan fokus pada keterlibatan mereka dengan hak-hak IPLC yang menjaga hutan di mana REDD+ dilaksanakan.
  • Ada banyak variasi tentang bagaimana standar dan pedoman safeguard membahas hak-hak IPLC.
  • Standar sukarela dapat mendukung transisi dari ‘do no harm’ menjadi ‘do better’ dengan mengkatalisasi transformasi berbasis hak untuk melibatkan kembali perempuan dan laki-laki dari IPLC sebagai pemegang hak dan mitra daripada sekedar penerima manfaat.

Mengkaji dukungan terhadap hak-hak Masyarakat Adat dan masyarakat lokal dalam konteks REDD+ di Indonesia

Ringkasan

  • Brosur ini menyajikan temuan-temuan penelitian hasil kajian dari sepuluh kriteria yang mendukung hak-hak Masyarakat Adat dan masyarakat lokal (Indigenous Peoples and local communities/IPLC) dalam konteks REDD+ di Indonesia.
  • Indonesia telah terlibat dalam REDD+ sejak awal dan telah mengembangkan berbagai instrumen untuk mendukung implementasi REDD+, termasuk sistem informasi safeguards (SIS) yang mencakup safeguards sosial yang mengakui hak-hak IPLC.
  • Hak-hak IPLC telah disebutkan sedikit demi sedikit dalam peraturan-peraturan pelaksanaan yang berbeda, misalnya, aspek persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan ada dalam peraturan terkait akses ke informasi atau perlindungan hak asasi manusia. Sebaliknya, hak-hak atas tanah dan tenurial hutan jauh lebih komprehensif, misalnya melalui skema-skema program Perhutanan Sosial.
  • Pelaksanaan safeguard untuk REDD+ dan inisiatif berbasis hutan lainnya harus melibatkan masyarakat adat dan menghormati hak-hak, pengetahuan, dan partisipasi mereka, seperti yang telah ditekankan dalam kontribusi yang ditetapkan secara nasional (Nationally Determined Contribution/NDC) terbaru di Indonesia.

Commons, indigenous rights, and governance

This chapter focuses on Latin American cases because the extent of formal recognition in this region has been particularly significant and diverse. Data analyzing changes in statutory regimes around the world show that Latin America is the developing region where the most significant changes appear to have occurred, at least on paper, in the transfer or recognition of rights designed for the use and management of communities. In Latin America, 59% of forest lands are owned and administered by the state, compared to approximately 92% in Africa and 62% in Asia. The chapter analyzes the evolution of indigenous claims to common pool resources and the recognition of indigenous rights to resource commons. It utilises commons theory to analyze the evolution of indigenous claims to commons, draws on cases from Latin American to illustrate the process of formalization of indigenous rights to land and forest resources. The chapter demonstrates that the challenges of establishing effective governance of indigenous commons.

Sekilas tentang Kerangka Pengaman (Safeguard): Apakah Standar Sukarela Mendukung Kesetaraan Gender dan Inklusi Perempuan dalam REDD+?

Ringkasan

  • Kaum perempuan dari Masyarakat Adat (IP) dan masyarakat lokal (LC) yang bergantung pada hutan memainkan peran kunci dalam pengelolaan hutan, namun sering termarjinalkan dalam pengambilan keputusan terkait dengan aksi yang dilakukan di wilayah hutan mereka.
  • Secara umum, desain dan implementasi aksi REDD+ bisa saja mengulang kesalahan konservasi dan aksi pembangunan sebelumnya yang gagal mengembangkan responsivitas terhadap hak perempuan dan kesetaraan gender; standar safeguard dapat menjadi jalan untuk mengubah praktik ini.
  • Analisis kami menunjukkan, meskipun perubahan persyaratan buta gender dalam safeguard layak diapresiasi, namun masih banyak hal yang perlu dilakukan.
  • Sebagian besar standar mencakup sejumlah kriteria terkait gender mengenai hak atas lahan dan sumber daya, namun hanya satu yang secara spesifik menjamin hak perempuan IP dan LC atas tanah dan sumber daya.
  • Standar yang ada memiliki cakupan persyaratan kesetaraan gender mengenai mekanisme pembagian manfaat REDD+; yang dimulai dari strategi untuk memastikan perempuan mendapat akses setara terhadap manfaat, hingga jaminan partisipasi perempuan dalam penyusunan mekanisme tersebut.
  • Kendatipun begitu, hanya dua standar yang mensyaratkan bahwa mekanisme pengaduan harus responsif gender atau dapat diakses perempuan; ini merupakan aspek yang harus lebih diperhatikan untuk menjembatani kesenjangan antara potensi dan dampak nyata dari standar ini.

Mengkaji Dukungan terhadap Hak Masyarakat Adat dan Masyarakat Lokal (IP dan LC) dalam Konteks REDD+ di RD Kongo, Indonesia, dan Peru: Analisis Komparatif serta Rekomendasi untuk Melangkah Maju

Ringkasan

  • Safeguard Cancun ditetapkan untuk – minimal – mencegah dampak paling berbahaya (“tidak membahayakan”) terhadap wilayah, mata pencaharian dan kehidupan sosiokultur Masyarakat Adat dan masyarakat lokal (IP dan LC) yang menjaga hutan tempat intervensi REDD+ diimplementasikan. Akan tetapi, pemaknaan dari safeguard ini akan mengikuti kerangka hukum dan prioritas kebijakan di masing-masing negara.
  • Analisis komparatif hak IP dan LC dalam kerangka hukum dan kebijakan di RDK, Indonesia, dan Peru – tiga dari empat negara dengan tutupan hutan tertinggi – menunjukkan perbedaan level pengakuan dan penghargaan terhadap IP dan LC dalam konteks REDD+.
  • Terdapatnya perbedaan keterlibatan dengan hak-hak IP dan LC, serta divergensi hak yang diakui perjanjian internasional (mis. UNDRIP) tersebut, mengungkapkan bahwa langkah maju safeguard dari ‘tidak membahayakan’ oleh pihak yang ingin ‘bertindak lebih baik’ akan menghadapi tantangan dan ketidakseimbangan.
  • ‘Bertindak lebih baik’ memerlukan upaya yang lebih besar, dimulai dengan mempertimbangkan kembali proponen REDD+ sebagai penanggung jawab dan masyarakat sebagai pemilik hak, dengan kapasitas dan mekanisme untuk menjaga agar pihak sebelumnya yang bertanggung jawab (mis: memantau pemenuhan hak termasuk akses atas partisipasi dan manfaat).
  • Diperlukan refleksi lebih jauh pada level UNFCCC untuk memutuskan apakah safeguard perlu untuk ‘bertindak lebih baik’. Hal ini membutuhkan pembenahan di tingkat ambisi agar lebih jelas dan transparan, dengan mempersiapkan panduan yang lebih jelas dan persyaratan yang lebih detail bagi negara REDD+, serta pemantauan kepatuhan yang lebih ketat.
  • Bukti dampak IP dan LC sebagai penjaga bentang alam hutan dengan biodiversitas tinggi menunjukkan bahwa perlindungan yang ‘bertindak lebih baik’ dengan cara mendukung penentuan nasib sendiri serta akses dan kontrol wilayah leluhur, tidak sekadar menjadi transformatif dalam terminologi kesetaraan, tetapi juga mendukung tujuan REDD+ secara lebih luas.

Role of Traditional Ecological Knowledge and Seasonal Calendars in the Context of Climate Change: A Case Study from China

A seasonal calendar, based on traditional knowledge of ecological indicators, seasonal variations and associated activities, can provide a baseline for understanding the practices of indigenous along with climatic variation. This paper investigates the ethno-ecological knowledge of indigenous people in Taxkorgan regarding the use of ecological cues to conduct seasonal activities that harmonize with climatic variations. Meteorological data from the nearest station was used to understand climatic variations and develop indices. The results revealed that indigenous elders still adopt traditional methods to decide the time of various annual activities observing and using seasonal cues, such as the height and color of grass, the arriving of migratory birds and phenological observations. Moreover, same or diverse indicators were used at settlements located in different elevations. The analysis revealed that the region was recently getting warmer and wetter compared to previous decades, and local perceptions were matched with climatic recordings. Local inhabitants already practiced earlier plantation of crops (e.g., wheat) in recent years. Climatic indices calculated revealed and validated recent weather condition can support earlier plantation of crops. Hence, the strong forecasting system using meteorological evidence to support existing local knowledge on ecological indicators and adjust seasonal calendars can improve indigenous people’s abilities to cope with climate risks. Furthermore, this can support in developing adaptation schemes that respond to community needs. The approaches and findings can be used to facilitate the management of these natural resource based on the adaptive framework and to create data that can be tested in subsequent studies.

Factors inflncing wildmeat trade in Guyana and expected changes in the context of the oil-related development prospects

The recent offshore oil discovery in the Guiana Shield is expected to bring about significant changes to the area, such as increased GDP per capita, infrastructure development, and urbanization. The potential impact on the wild meat trade depends on factors influencing its demand and provision. Through interviews and group discussions with trade chain stakeholders in all towns of Guyana, we evaluate wildmeat trade sector and explored predicted changes on it in 2033 with the prospects for short term oil-related development. The most traded species in Guyana included paca, white-lipped peccary, deer, tapir and capybara and a total of 38.46% (5 out of 13) of the taxa being traded is classified as threatened of extinction. Regions with higher population size and GDP per capita, are the main trade hubs for wildmeat. Access to improved preservation methods (e.g. freezers) and motorized transportation options (eg.: boat with engines and vehicles) significantly influence higher volumes of wildmeat traded. The economic growth anticipated in Guyana is expected to boost population growth and, by the same time, wildmeat demand in urban areas. Concomitantly, with improved infrastructure and increased access to electricity, wildmeat provision will be facilitated across a wider catchment area. Based on the assumption that cultural patterns shaping wildmeat demand and environmental regulations will likely not change at the same rapid path as economic growth in the next ten years, we predict wildmeat trade volumes to increase to 10,280 tons/year by 2033. We identify three main opportunities to ensure a sustainable wildmeat sector in the context of the economic boom: First, the sector requires to be well regulated through a licensing and a quota system that can be adequately enforced. Second, efforts to curve demand on the Coast need to be strengthened based on well designed and culturally adapted behaviour change campaigns. Third, local communities and indigenous people need to be empowered to protect and conserve their territories and wildlife resources, in particular with the authority to exclude illegal hunters.

Considering context in participatory forest landscape initiatives

Why do some participatory processes help level the playing field in conservation and development projects while others reinforce unequal power relationships among participants? Complex problems, such as those related to land use and climate change, involve many people —government officials, non-profit conservation groups, private enterprises, local communities and funders.

Resilient Landscapes is powered by CIFOR-ICRAF. Our mission is to connect private and public actors in co-beneficial landscapes; provide evidence-based business cases for nature-based solutions and green economy investments; leverage and de-risk performance-driven investments with combined financial, social and environmental returns.

Learn more about Resilient Landscapes Luxembourg

2025 All rights reserved    Privacy notice